PENCEGAHAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN PEREMPUAN DI ERA DIGITAL
Oleh:
Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang, dialog RRI Padang, 19 Mei 2025
Kritis, mencemas kan dan dalam tingkat yang membahayakan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, begitu pernyataan dr. Aladin, ketua PKBI Sumatera Barat, dalam dialog Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan di Pro 1 RRI Padang.
Di luar nalar sehat dan sulit mencerna bentuk, jenis dan prilaku menyimpang, tindakan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang terjadi di daerah ini, begitu penegasan dari yang mewakil pemerintah UPT PPA Provinsi yang menanggani kasus semacam ini.
Anomali, itu kata kunci yang memuat hati miris mencermati prilaku masyarakat di era digital ini, lebih khusus maraknya kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak di era digital ini, begitu komentar cendikiawan dan tokoh agama yang aktif dalam urusan keluarga, anak dan perempuan.
Perkembangan teknologi digital telah membawa dampak signifikan terhadap pola interaksi sosial, termasuk munculnya bentuk-bentuk kekerasan baru yang menimpa kelompok rentan seperti anak dan perempuan. Apa faktor penyebab maraknya kekerasan digital terhadap anak dan perempuan.
Statistik Kasus Kekerasan di Sumatera Barat. Kekerasan terhadap Anak tahun 2022: 617 kasus. 2023: 841 kasus. 2024: 721 kasus. Meskipun terjadi penurunan dari tahun 2023 ke 2024, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2022.
Jenis kekerasan yang paling sering dilaporkan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual, dengan korban didominasi oleh anak-anak berusia 13 hingga 17 tahun .
Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020: 216 kasus. 2023: 237 kasus. 2024: 309 kasus
Terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2020 hingga 2024.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat menunjukkan bahwa distribusi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan bervariasi di setiap kabupaten/kota.
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka kekerasan antara lain.
Perkawinan Dini: Banyak anak yang menikah di usia dini karena tekanan ekonomi, budaya, serta rendahnya akses terhadap pendidikan. Perkawinan anak rentan menimbulkan dampak jangka panjang seperti kekerasan dalam rumah tangga dan gangguan kesehatan reproduksi .
Lingkungan Keluarga: Sebagian besar kasus kekerasan terjadi dalam lingkup keluarga, yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak dan perempuan .
Stigma Sosial: Masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan karena stigma di masyarakat, sehingga menyulitkan upaya penanganan dan pencegahan .
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah mengambil langkah-langkah untuk menangani dan mencegah kasus kekerasan, antara lain:
Pembentukan UPTD PPA: Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dibentuk di beberapa kabupaten/kota untuk memberikan layanan perlindungan dan pemulihan bagi korban .
Sosialisasi dan Edukasi: DP3AP2KB Sumbar bersama instansi terkait aktif mengadakan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melaporkan dan mencegah kekerasan.
Kolaborasi Lintas Sektor: Pemerintah mendorong sinergi antara berbagai pihak, termasuk RT, RW, Satgas, hingga UPTD PPA di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, untuk bersama- sama menangani kasus kekerasan .
BULLYING DAN KEKERASAN
Kekerasan terhadap anak dan perempuan mengalami transformasi bentuk dalam era digital. Jika sebelumnya kekerasan lebih bersifat fisik dan verbal langsung, kini hadir pula dalam bentuk kekerasan berbasis teknologi: seperti perundungan daring (cyberbullying), eksploitasi seksual daring, dan pelecehan melalui media sosial. Situasi ini menimbulkan tantangan besar bagi dunia pendidikan, keluarga, dan negara.
Faktor Penyebab Kekerasan Digital
Akses teknologi tanpa filter: Anak-anak dan remaja mengakses media sosial tanpa kontrol orang tua.
Literasi digital rendah: Tidak memahami batasan etika dan bahaya dunia maya.
Anonimitas pelaku: Dunia maya mempermudah pelaku menyembunyikan identitas.
Normalisasi kekerasan dalam media digital: Konten hiburan yang penuh kekerasan dan seksualisasi perempuan.
Lemahnya sistem pelaporan dan hukum: Masih banyak korban yang tidak tahu ke mana harus melapor.
Nash Syar’i
Islam sangat mencela prilaku kekerasan terhadap anak dan perempuan dalam Surat An-Nisa: 9"...anak-anak yang lemah..." menjadi landasan perlindungan anak.
Dalam surat Al-Hujurat:11–12. Melarang ejekan, celaan, dan fitnah—relevan dengan cyberbullying dan pelecehan digital.
Dalam Hadis Nabi SAWditegaskan:
"Barangsiapa menyakiti orang lain (baik secara fisik atau verbal), maka ia termasuk zalim." (HR. Bukhari)
Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 menyatakan bahwa menyebarkan kebencian, konten pornografi, fitnah, dan kekerasan digital adalah haram dan melanggar syariat.
Regulasi Nasional yang mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan UU No. 35 Tahun 2014 (Perlindungan Anak). UU No. 12 Tahun 2022 (TPKS). UU ITE No. 11 Tahun 2008 jo. No. 19 Tahun 2016. Permen PPPA dan Kominfo tentang keamanan digital anak dan perempuan.
Kajian Psikologis.
Anak dan perempuan korban kekerasan digital rentan mengalami trauma psikologis, depresi, kecemasan, hingga bunuh diri. Kekerasan digital berdampak pada perkembangan emosi, kepercayaan diri, dan relasi sosial anak.
Kesimpulan.
Kekerasan terhadap anak dan perempuan di era digital merupakan fenomena yang semakin kompleks dan memprihatin kan.
Data empiris menunjukkan peningkatan signifikan, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan berbasis teknologi seperti cyberbullying, pelecehan daring, dan eksploitasi seksual digital.
Transformasi bentuk kekerasan ini disebabkan oleh kombinasi faktor struktural dan kultural, mulai dari pernikahan dini, lingkungan keluarga yang tidak aman, hingga literasi digital yang rendah dan lemahnya sistem perlindungan.
Upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan oleh pemerintah melalui pembentukan UPTD PPA, sosialisasi lintas sektor, serta regulasi nasional yang tegas. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama dalam aspek edukasi digital, perlindungan hukum, dan penguatan peran keluarga.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan. Nash Al-Qur’an, hadis Nabi SAW, dan fatwa MUI memberikan pijakan moral dan spiritual yang kuat untuk menolak kekerasan serta mengedepankan kasih sayang, perlindungan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Kolaborasi antara negara, masyarakat, keluarga, dan institusi keagamaan untuk menciptakan ekosistem digital yang aman, sehat, dan bermartabat bagi anak dan perempuan adalah cara terbaik yang mesti terus diperkuat.
Membangun kesadaran, memperkuat literasi, serta menegakkan hukum adalah jalan menuju masyarakat digital yang beradab dan melindungi yang lemah. DS.18052025
Daftar Pustaka.
• MUI. (2017). Fatwa MUI tentang Muamalah Medsos. Komisi Fatwa MUI.
• Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang TPKS.
• Kominfo. (2020). Pedoman Perlindungan Anak di Dunia Digital.
• Santrock, J. W. (2014). Child Development. McGraw-Hill.
• Zakiah Daradjat. (2003). Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.
• Al-Qur’an al-Karim dan Terjemah Kemenag RI.
• WHO. (2021). Violence Against Women: Prevalence Estimates.
Dapatkan artikel terbaru langsung ke email Anda