SANAD KEILMUAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL DAN MORAL
May 15, 2025 May 15, 2025
SANAD KEILMUAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL DAN MORAL
SANAD KEILMUAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL DAN MORAL

SANAD KEILMUAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL DAN MORAL

Oleh: Duski Samad 
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Perti 

 

Tulisan ini hadir untuk menjelaskan lebih lanjut artikel penulis yang berjudul ILMU BERSANAD DAN PERBEDAAN SIKAP pada link Indonesiamadani.com. Setelah mempelajari lebih dalam memang
 sanad keilmuan dan tanggung jawab intelektual-moral” adalah keniscayaan dan sangat relevan kaitannya dengan QS Al-A‘rāf: 6, terutama dalam konteks transmisi ilmu dan pertanggungjawaban dalam menyampaikan serta menerima kebenaran. 

Sanad keilmuan adalah rantai transmisi pengetahuan yang terhubung dari satu generasi ulama ke generasi berikutnya hingga bersambung kepada Rasulullah SAW. Dalam tradisi Islam, sanad ini menjadi jaminan otoritas, keaslian, dan adab keilmuan.

Sanad bukan hanya soal siapa mengajar kan apa kepada siapa, tapi juga menyangkut
Integritas ilmiah.
Akhlak dalam menyampaikan.
Amanah dalam meneruskan ilmu.

Sanad yang disandarkan Al Qur'an  Al-A‘rāf: 6: relasi tematik adalah
"Kami akan menanyai orang-orang yang telah diutus kepada mereka, dan Kami akan menanyai para rasul." Ayat ini menggambarkan
transmisi risalah (ilmu) dari Allah kepada Rasul selanjutnya kepada umat.

Setiap mata rantai dalam sanad risalah akan ditanya. Rasul akan ditanya. Apakah kamu sampaikan?
Umat akan ditanya: Apakah kamu terima dan amalkan?

Implikasi sanad keilmuan adalah
Orang yang menyampaikan ilmu dalam rantai sanad (guru, ulama, dai) mewarisi posisi para rasul, maka harus jujur, bertanggung jawab, dan amanah.
Murid dan umat sebagai penerima ilmu harus aktif, kritis, dan menghormati kebenaran.

Tanggung jawab intelektual dan moral dalam sanad keilmuan adalah kemestian yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Tanggung jawab intelektual mulai dari
kejelasan sumber: ilmu yang disampaikan harus merujuk pada sanad dan otoritas yang sah.

Kebenaran isi tidak boleh ada penyimpangan dari makna asli. Kejelasan metode, menjelaskan sesuai maqam keilmuan, tidak sembarangan berfatwa atau mengutip.

Tanggung jawab moral meliputi adab kepada guru dan ilmu. Ikhlas dalam menyampaikan dan mencari ilmu. Tidak menjual ilmu untuk kepentingan dunia atau politik.
Menjadi teladan akhlak, bukan hanya penghafal dalil.

Sanad dalam 
konteks kontemporer
Di zaman digital
Banyak “ilmu” tersebar tanpa sanad, tanpa verifikasi, dan kadang digunakan untuk propaganda adalah situasi sosial yang mesti dikritisi dan dikembalikan ke aslinya, sanad menjadi keharusan untuk dapat diakui otoritas keilmuan.

Ulama, akademisi, dai, dan influencer muslim membawa beban moral dan intelektual berat karena jadi rujukan publik, maka memastikan dari mana dan siapa sanad keilmuan mereka niscaya adanya.

Al Quran surat Al-A‘rāf: 6 bisa dibaca secara kontemporer "Kami akan menanyai para dai, dosen, penulis, ustaz YouTube, dan semua yang menyampaikan risalah kebenaran."
Integrasi sanad dan amanah ilmu adalah mutlak.Sanad bukan sekadar rantai nama, tapi simbol warisan kebenaran.

Struktur tanggung jawab kolektif. Pilar kejujuran intelektual dan kemuliaan moral. “Ilmu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (Imam Malik)

TEMATIK AL 'ARAF AYAT 6.
Surat Al-A'raf ayat 6 
Artinya: Maka sungguh, Kami akan menanyai orang- orang yang telah diutus kepada mereka, dan sungguh Kami akan menanyai para rasul.
Tafsir Al-Tabari:
Al-Tabari menjelas kan bahwa pada hari kiamat Allah akan menanyai dua pihak.

Kaum yang menerima risalah, apakah mereka menerima atau menolak ajaran para rasul. Para rasul, apakah mereka telah menyampaikan risalah sebagaimana mestinya.

Tujuannya bukan karena Allah tidak tahu, tetapi sebagai bentuk iqāmah al-ḥujjah (penegakan bukti) dan keadilan ilahiah agar keputusan-Nya terlihat adil di hadapan semua makhluk.

Tafsir Al-Qurthubi:
Al-Qurthubi menekankan bahwa pertanyaan ini adalah bagian dari hisab (perhitungan amal) yang akan dihadapi semua manusia. Dia juga menyebutkan bahwa "menanyai para rasul" menunjukkan bahwa tugas dakwah adalah amanah yang besar, dan mereka pun akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Tafsir Ibn Katsir:
Ibn Katsir menyata kan bahwa ayat ini adalah peringatan keras kepada manusia bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas reaksi mereka terhadap dakwah para nabi, dan para nabi akan menjadi saksi atas umat mereka. Ini ditegaskan lagi dalam ayat-ayat seperti QS. Al-Ma’idah: 109 dan QS. Al-Ahzab: 45.

Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zhilal al-Qur’an):
Sayyid Qutb menekankan aspek tanggung jawab moral dan sosial dari ayat ini. Umat tidak bisa beralasan jika mereka mengabaikan ajaran para nabi. Ia juga menyoroti bahwa tanggung jawab para rasul sangat besar, bukan hanya menyampaikan, tetapi juga memastikan pesan itu jelas dan sampai.

Tafsir Muhammad Abduh – Rasyid Ridha (Al-Manar):
Mereka menghubungkan ayat ini dengan konsep rasionalitas dalam keimanan. Pertanyaan pada hari kiamat adalah bentuk dari pertanggungjawaban intelektual dan moral manusia terhadap petunjuk yang sudah disampaikan. Mereka juga menyatakan bahwa dalam konteks modern, siapapun yang memiliki ilmu dan menyampaikan kebenaran (seperti ulama atau pemimpin) juga bisa ikut dalam cakupan pertanyaan ini.

Tafsir Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar):
Buya Hamka melihat ayat ini sebagai peringatan keras untuk pemimpin dan ulama, bahwa mereka juga akan ditanya tentang sejauh mana mereka menjalankan tugasnya menyampaikan kebenaran. Beliau juga menekankan bahwa umat tidak bisa lari dari tanggung jawab karena telah mendapat utusan yang membawa risalah.

Secara kontemporer, ayat ini memperluas makna tanggung jawab kepada siapapun yang mendapat amanah menyampaikan kebenaran, dan menekankan nilai moral dan rasional dalam menerima dakwah.

Pendekatan tematik (mawḍū‘ī) terhadap QS Al-A‘rāf: 6 memungkinkan untuk mengaitkan ayat ini dengan tema besar tanggung jawab komunikasi risalah (tabligh) dan akuntabilitas kolektif dalam konteks kenabian dan umat.

Akuntabilitas risalah dan tanggung jawab umat di awali dari 
tanggung jawab dakwah (Amanah Para Rasul)

QS Al-A‘rāf: 6 menyiratkan bahwa rasul tidak hanya menyampaikan, tapi juga harus memastikan bahwa risalah itu dapat dipahami dan diterima dengan jujur. Ini sejalan dengan: QS Al-Mā’idah: 67
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu..." Begitu juga sama makna nya dengan
QS Al-Ahzāb: 39
"(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain Allah..."

Akuntabilitas umat (pertanyaan kepada yang di dakwahi)
Pertanyaan kepada "orang-orang yang telah diutus kepada mereka" dalam QS Al-A‘rāf: 6 menegas kan bahwa umat tidak bebas dari tanggung jawab.

Mereka harus menggunakan akal, nurani, dan potensi untuk menerima kebenaran. Ini sejalan dengan:
QS Al-Isrā’: 36
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..."
Makna yang sama 
QS Al-Mulk: 10
"Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala."

Prinsip penegakan hujjah (Iqāmat al-Ḥujjah).Pertanyaan dalam ayat ini juga berfungsi sebagai bukti keadilan Allah, yakni menanyakan kepada rasul untuk menegaskan bahwa mereka telah menyampaikan.

Menanyakan kepada umat untuk menegaskan bahwa mereka menolak atau mengabaikan.

Ini adalah prinsip hisbah ukhrawiyah (perhitungan akhirat), bukan karena Allah butuh informasi, tapi sebagai proses pengadilan ilahiah yang adil dan transparan.

Refleksi tematik kontemporer adalah 
siapa yang bertanggung jawab menyampaikan kebenaran hari Ini?

Dalam konteks saat ini, bukan hanya nabi, tapi juga ulama, guru, aktivis dakwah, pemimpin umat, bahkan media.
Maka ayat ini menyiratkan pertanggung jawaban kolektif.

Umat modern beban pengetahuan dan pilihan. Kemudahan akses informasi
Umat tidak bisa beralasan “tidak tahu”.

Masyarakat modern dituntut lebih kritis, sadar, dan proaktif menerima serta menyaring informasi kebenaran.

KESIMPULAN
Sanad keilmuan bukan sekadar rantai transmisi ilmu dari guru ke murid, melainkan sistem adab, otoritas, dan integritas yang menautkan ilmu dengan tanggung jawab intelektual dan moral. Dalam terang QS Al-A‘rāf: 6, setiap penyampai risalah dan penerima ilmu akan dimintai pertanggungjawaban sebuah prinsip iqāmah al-ḥujjah yang memastikan keadilan ilahiah dan akuntabilitas risalah.

Para ulama, guru, dai, dan pemimpin umat menempati posisi kritis dalam sanad, mewarisi amanah kenabian untuk menyampai kan ilmu dengan jujur, amanah, dan penuh adab. Sementara umat dan murid dituntut untuk aktif, kritis, dan bertanggung jawab menerima serta mengamalkan kebenaran. Maka, tanggung jawab intelektual meliputi kejelasan sumber, validitas isi, dan ketepatan metode. Sedangkan tanggung jawab moral menuntut keikhlasan, penghormatan kepada guru, dan menjauhkan ilmu dari kepentingan duniawi.

Di era digital, ketika “ilmu” beredar tanpa verifikasi, sanad keilmuan menjadi filter penting untuk menjaga kemurnian ajaran dan otoritas keilmuan. QS Al-A‘rāf: 6 dalam tafsir klasik dan kontemporer mengingatkan bahwa tidak hanya para rasul yang akan ditanya, tetapi juga para penyampai kebenaran hari ini: dosen, ulama, penulis, hingga konten kreator.

Integrasi sanad dengan amanah risalah adalah keniscayaan. Ia bukan sekadar rantai nama, melainkan simbol warisan kebenaran dan struktur tanggung jawab kolektif. Ilmu adalah bagian dari agama, maka kehati-hatian dalam menyampaikan dan menerima ilmu menjadi harga mati. Dalam pandangan ini, sanad adalah jembatan adab yang menjaga agar cahaya ilmu tetap bersinar, bukan hanya terang tapi juga menyejukkan. DS.15052025.

Please Login to comment in the post!
Relate Post
Tokoh & Ulama
PENCEGAHAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN PEREMP...

Read More